Kinayah : Sepeda onta yang berdentang

Semarang, awal tahun 80-an


Hampir setiap sore Kinay dan teman-temannya bersepeda keliling kampung. Mereka melintasi jalan raya menjauh meninggalkan lingkungan rumah. Memasuki banyak gang di perkampungan tetangga, melewati juga sekolahnya dan lebih jauh lagi melewati pinggiran persawahan diujung desa.

Acara sepedaan ini layaknya sedang parade saja. Kinay dan beberapa temannya bersepeda mengular berurutan dari depan ke belakang. Kadang mereka berempat atau berlima apabila semua teman ikut serta. Dan urutan parade inipun selalu sama setiap harinya. Bahwa Erma selalu nomor satu dengan sepeda mini warna pink yang ada keranjang di depan, diikuti Icha dengan sepeda mini juga, kemudian Yanti dengan sepeda jengkinya, disusul Lisa yang mengendarai jengki juga dan terakhir Kinay dengan sepeda ontanya.

Sepeda onta? Yang memberikan nama ini adalah anak-anak kecil yang ketika parade sepeda Kinay dan teman-teman lewat mereka sedang bermain di halaman. Mereka anak laki-laki dan perempuan seusia taman kanak-kanak atau sekitar enam tahunan. Mereka yang langsung berhamburan menepi ketika parade sepeda itu lewat persis di tempat mereka sedang menggelar mainan. 

Erma yang selalu berada di depan akan dengan semangat membunyikan bel keras-keras beberapa meter di depan anak-anak itu.

" Awasss! " 
Kring kring kring!

Mereka langsung berlari menepi sambil menahan kesal. Mereka akan melotot kearah parade sepeda yang sedang lewat. Dan ketika giliran Kinay yang terakhir melintas, mereka langsung berteriak :

" Sepeda onta, sepeda onta! " sambil berjingkrak dan tertawa.

Awalnya Kinay kesal juga. Namun lama-lama dia sudah terbiasa, dan sekarang justru Kinay membalas olok-olok anak-anak itu dengan menjulurkan lidahnya. Melihat itu mereka semakin mengeraskan tawanya sambil terus berteriak : " Sepeda onta, sepeda onta, hahaha! "


" Sepedamu memang seperti onta Nay, lihat. Kalau kau menaikinya maka punggungmu akan jauh membungkuk dan kepalamu mirip punuk " kata Erma ketika Kinay menceritakan kekesalannya terhadap anak-anak itu.

Kinay melihat sepedanya, tepatnya sepeda ayahnya. Sepeda itu yang setiap hari dipakai ayah untuk berangkat dan pulang kerja. Juga dipakai ketika ayah mengambil air untuk dijual ke para tetangga. Sepeda berwarna hitam, besar dan sangat kokoh.

Semula Kinay menolak menggunakan sepeda itu ketika Erma mengajaknya. Tetapi ayah belum bisa membelikannya sepeda mini atau jengki seperti milik teman-temannya. Dan akhirnya Kinay mengalah, demi kesenangan dan kebahagian bersama teman-teman. Toh teman-teman tidak keberatan dia menggunakan sepeda itu dan tidak ada pula yang mengejeknya. 

Sepeda Kinay memang kelihatan paling besar diantara semua, itulah mengapa setiap mereka berparade Kinay selalu berada diurutan paling belakang supaya tidak menutupi pandangan teman-teman. Sepeda itu sebenarnya bukan untuk anak-anak melainkan dewasa. Sadelnya sangat tinggi, sehingga kalau Kinay menaiki dan duduk disadel, dia akan kelihatan membungkuk karena jauhnya jarak antara setang dan sadel. Dan ketika mengayuhpun kedua kakinya tidak bisa menempel di pedal secara bersama-sama. Apabila pedal kanan berada diatas maka kaki kanannya bisa menyentuh tetapi kaki kirinya akan menggantung tidak bisa mengayuh. Begitupun sebaliknya.

Sebenarnya sepeda milik ayah Kinay dan sepeda jengki milik Yanti bentuknya hampir sama, hanya ukuran yang membedakan. Sepeda ayah Kinay ukurannya lebih besar dan panjang, sedangkan sepeda jengki milik Yanti lebih ramping dan pendek sehingga pas apabila dikendarai.

Sepeda dengan keranjang; sumber google

Pada suatu sore teman-teman nyamperin Kinay mau diajak sepedaan seperti biasa.

" Ayo Nay mau ikutan nggak? " teriak Yanti dari luar rumah

" Sebentar ya, sepedaku masih dipakai ayah ambil air "

" Lama nggak? Keburu sore nih "

" Enggak lama, sebentar lagi ayahku sampai "

Benar saja sebentar kemudian ayah Kinay sudah sampai di rumah. Begitu melihat ayahnya Kinay langsung berlari mendekat. " Ayah cepetan, sepedanya mau aku pakai. Tuh, sudah ditunggu teman-teman "

Sepeda jengki; sumber google

Begitu ayah menurunkan dua buah jerigen dari sisi kiri dan kanan boncengan, Kinay segera menyusul teman-teman yang sudah beberapa meter di depan.

" Tunggu woii! " 

Karena terburu-buru Kinay melupakan dua buah besi yang berfungsi untuk mengaitkan jerigen ke boncengan sepeda. Dua besi berbentuk huruf S yang seharusnya diambil dan disimpan tersebut jadi terbawa, masih tergantung di boncengan.

Ketika Kinay menyadari dari suara denting-denting besi tadi mereka sudah jauh meninggalkan rumah. Apabila Kinay kembali untuk menyimpan besi itu pasti dia tertinggal oleh teman-temannya. Kinay tidak mau itu terjadi dan membiarkan saja bunyi-bunyi itu terus terdengar.

Sepeda onta (sepeda onthel); sumber google

Dan ketika laju sepedanya semakin cepat, atau ketika rodanya terantuk batu dan mungkin juga masuk lobang jalan, maka suara dentingan besi-besi tadi berubah menjadi suara dentangan-dentangan yang keras dan mengganggu.Seperti bunyi genta yang memecah kesegala penjuru.

" Bunyi apa itu, Nay? " teriak Lisa yang persis didepannya.

" Besi punya ayahku, masih tertinggal diboncengan karena aku buru-buru "

" Ah, berisik tau! "

Erma, Icha dan Yantipun saling menoleh mencari sumber suara, dan tampak kesal ketika tahu asalnya dari boncengan sepeda Kinay. Tidak hanya mereka bahkan ketika berpapasan dengan siapa saja pasti orang-orang akan menoleh kearah Kinay dengan mengerutkan dahi.

Dan ketika mereka seperti biasa melewati kerumunan anak-anak TK yang segera menyingkir begitu arak-arakan sepeda datang, ketika anak-anak bersiap meneriaki Kinay seperti sore-sore yang lalu, tiba-tiba mereka sejenak terdiam ketika Kinay lewat disertai bunyi dentangan. Tetapi tak lama. Setelahnya mereka kembali berteriak sambil berjingkrak :

" Sepeda onta berdentang-dentang, sepeda onta berdentang-dentang! "

Kinay menoleh kebelakang, menjulurkan lidahnya sambil tertawa, " Biarin, weeekk! "

Selanjutnya selama mereka melewati jalan-jalan yang selama ini menjadi rute langganan, selalu jadi perhatian. Orang-orang akan menolah kearah mereka karena suara itu. Dentingan besi-besi diboncengan sepeda Kinay yang apabila melewati jalan tertentu suaranya akan berubah menjadi dentangan-dentangan. Lama kelamaan teman-teman merasa terganggu juga. Merasa tidak nyaman. Kinay bukannya tidak merasa ketika teman-temannya tampak manyun disepanjang perjalanan.

" Nay kenapa kau bawa besi-besi itu? Kita jadi diliatin orang-orang tadi " kata Erma ketika mereka beristirahat sejenak di pinggiran tanah lapang.

" Aku tidak sengaja, lupa. Tadi terbawa begitu saja "

" Besok lagi kau tidak boleh ikut kalau besi-besi itu masih tergantung disana "

Icha, Yanti dan Lisa diam saja, tanda bahwa mereka setuju dengan Erma, mereka membenarkan kata-katanya.


Sesampai di rumah, teman-teman masih saja memendam kesal. Mereka tidak banyak canda seperti biasanya. Kinay merasa tidak tenang. Ah, inikan tidak melulu salahku, kata hatinya galau.

" Nay, apa kau membawa besi - besi yang dipakai ayah untuk mengaitkan jerigen air? " tanya ibu begitu menjumpai Kinay sedang menyandarkan sepeda.

" Iya bu, tadi terbawa "

" Aduh, kamu ini bagaimana sih? Dari tadi ayah kebingungan mencari-cari. Mengapa tidak kau kembalikan dulu tadi? Bagaimana kalau jatuh kemudian hilang di jalan? Menggunakan apa ayahmu ketika besok mengambil air? "

Kinay diam saja. Dia jadi heran, mengapa setelah sedari tadi jadi sasaran kekesalan teman-teman, ibu sekarang juga ikut-ikutan? Mengapa hanya dia yang disalahkan?

Malam ini sebelum tidur Kinay masih memikirkan kejadian sore tadi. Tentang sikap teman-teman dan ibu. Sebenarnya dia sangat kesal, tapi bagaimana lagi. Mungkin ini akibat dirinya kurang teliti sehingga besi-besi itu terbawa serta. Hanya karena tergesa-gesa. Andai dia lebih sabar dan tenang mungkin sore tadi adalah sore yang paling indah. Dimana dia dan teman-teman bersepeda sambil bercanda seperti biasanya. Dan ketika pulang ibu akan menyambutnya dengan riang. Pada akhirnya ini kesalahan dia juga kan ya?

Oh baiklah lain kali aku harus lebih teliti dan tidak serta merta tergesa-gesa, begitu kata hatinya diujung rasa kantuk yang menggelayut. Kinaypun terlelap dengan segera untuk menjemput mimpi-mimpi. Keesokan hari, dia yakin segalanya akan kembali normal seperti semula. Dimana teman-teman akan tertawa-tawa dan ibu akan tersenyum ceria.

Komentar

  1. Sikap tergesa-gesa juga tidak baik ya mbak sebagai manusia, kalau tergesa-gesa untuk melakukan sesuatu pasti hasilnya tidak akan puas juga hehehe

    BalasHapus
  2. Bullying ih,, alay.. Di zaman serba modern ini, justru sepeda onta or ontel ini mempunyai nilai keunikan tersendiri, justru semakin sering dipakai semakin eksotis dan jadi nya gaul.. Malah kalau dibeli harganya jadi lebih mahal.

    BalasHapus
  3. Ceritanya baguuusss. Bikin lagi cerita anak, trus kirimin ke majalah. Semangat :D

    BalasHapus
  4. Biar kata teman2 sepeda onta, yang penting PD, Kinay :)

    BalasHapus
  5. smangat kinay, sepeda onta sekarang ini malah mahal karna nilai seninya

    BalasHapus
  6. Bagus banget ceritanya.
    Dari dulu pengen nyoba sepeda onta tapi ga bisa2, mba.

    BalasHapus
  7. saya suka sama ceritanya Mbak Anjar :)

    tapi saya punya pengalaman buruk sama sepeda onta, waktu kecil dulu saya pernah di tindis sepeda onta :(

    BalasHapus
  8. Ho oh mbak..kirim media Bobo atau apa. Mungkin sekarangpun msh ada anak2 yang terpaksa nebeng sepeda onta bapaknya...

    BalasHapus
  9. Sepeda onta lagi banyak yang nyari mbak. Unik. Saya aja pengen punya.

    BalasHapus
  10. hiks...hiks..aku dulu punya sepeda onta sayang dijual sama ayahku mbak.

    BalasHapus
  11. Hehe..tertawa tawa sendiri baca ini, terakhirnya ada pelajarannya juga, supaya jangan tergesa-gesa...

    BalasHapus
  12. kemarin di kota tua aku gak semoat naik sepeda model gini mbak, penasaran bisa gak ya aku

    BalasHapus
  13. Sekarang sepeda onta itu sedang banyak yang nyari, karena sepeda onta itu unik sekali mbak :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minum Langsung Dari Gelasnya

Kinayah : keriting di salon!

Kinayah : Kartinian