Di beranda Surga




May dan Kia seperti biasa sedang bermain bersama, memisahkan diri dari teman-teman yang lain. Mereka lebih suka bermain di taman disekitar beranda. Mengejar kupu-kupu atau mencium bau bunga yang mekar sempurna.

Saat ini mereka sedang berkejaran sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba May yang berlari didepan menghentikan langkahnya dengan mendadak, sehingga Kia menubruknya dari belakang.

" Ada apa May? Kenapa kau berhenti tiba-tiba? " tanya Kia sambil berdiri kembali setelah terjatuh menimpa tubuh May akibat May berhenti mendadak tadi.

" Lihat, siapa itu " May masih terduduk dirumput ketika jari telunjuknya mengarah pada suatu tempat. Kia mengikuti arah itu.

" Nggak tahu. Aku belum pernah melihatnya. Hei, apa yang sedang dia lakukan, May? Dia membuka pintu dan melongok-longok ke bumi, bagaimana kalau dia terjatuh? Ayo kita dekati "

May sudah berlari duluan menuju arah itu sebelum Kia menyelesaikan kata-katanya. Mereka berlari secepat yang mereka bisa.

Disana, anak itu, anak perempuan seusia tujuh tahunan, tampak sedang membungkukkan badannya melongok kearah bumi melalui sebuah pintu kecil. Kepala dan badannya bahkan sudah keluar sebagian. Dia terus menjulurkan kepala lebih turun lagi, dan hampir saja tubuhnya terjatuh seandainya May dan Kia tidak segera mengangkap kakinya. May menangkap kaki kanan, sedang Kia menangkap kaki kiri. 

Anak itu terkejut luar biasa begitu ada yang menubruk kakinya dengan tiba-tiba. Dia berusaha meronta, tapi May dan Kia segera menarik tubuhnya naik dan membawa menjauh dari pintu. Anak itu tampak tidak senang, dia cemberut kearah May dan Kia seolah marah atas perbuatan mereka.

" Siapa kalian? Mengapa kalian menarikku? "
" Hei, seharusnya kami yang tanya, siapa kau. Kami sudah lama disini dan kami baru melihatmu. Dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dari mana kau mendapatkan kuncinya? " tanya Kia beruntun.

" Namaku Ike, aku juga sudah lama tinggal disini, tapi baru kali ini aku bermain di beranda. Aku mendapatkan kunci ini terjatuh di halaman, jadi bukan salahku kan? "

" Kalau kau mendapatkannya terjatuh, seharusnya kau serahkan kembali kepada ibu penjaga, lalu kenapa justru kau gunakan untuk membuka pintu itu? Kau tahukan bahwa pintu itu tidak boleh dibuka sembarangan? Apa yang kau lakukan tadi sangat berbahaya "

" Aku tahu. Aku hanya ingin mengintip sedikit saja. Memangnya tidak boleh? "

" Baiklah sekarang cepat kembalikan kunci itu kepada ibu penjagamu "

" Aku tidak mau. Aku akan memakainya sekali lagi. Aku belum mendapatkan apa yang kuinginkan. Gara-gara kalian menarikku, aku jadi gagal mendapatkan keinginanku. Seandainya kalian tidak menarikku tadi, pasti sudah kukembalikan kunci ini "

" Apa maksudmu? Kau harus mengembalikan kunci itu sekarang. Kalau ibu penjagamu tahu kuncinya hilang, kau dalam bahaya besar. Ayo kembalikan sekarang. Kalau kau tidak berani, aku akan membantumu mengembalikan pada ibu penjagamu " Kia mengulurkan tangannya kepada Ike untuk meminta kunci itu.

" Tidak. Akan kukembalikan nanti jika aku sudah mendapatkan keinginanku " Ike menyembunyikan kunci itu kebelakang punggungnya.

" Memangnya apa kau inginkan? Mungkin kami bisa membantu? " kali ini May yang berbicara.

Ike diam saja sambil menatap May dan Kia bergantian. Seolah dia ingin memastikan bahwa mereka berdua bisa dia percaya. " Aku tidak bisa mengatakan pada kalian, ini rahasia "

" Kau sudah berada di surga tapi masih menyimpan rahasia? Tidak ada rahasia lagi disini. Tapi terserah. Lihat saja, nanti apabila ada ibu penjaga yang bertanya tentang kuncinya yang hilang, aku sudah tahu siapa yang mengambil. Dan yang mengambil itu akan dihukum "

" Apakah di surga juga ada hukuman? "

" Ya, buat anak nakal yang melanggar peraturan. Ayo Kia kita kembali kedalam. Kita harus membantu seorang ibu penjaga yang saat ini pasti sedang kebingungan karena kehilangan sebuah kunci "

" Ibu penjaga tidak mungkin menghukumku, ibu penjaga selalu baik padaku "

" Tetapi kesalahanmu kali ini sangat berat. Kau mengambil kunci pintu menuju bumi. Hanya ibu penjaga yang boleh menggunakan kunci ini "

Ike menatap kepergian May dan Kia dengan gelisah, antara takut dan ragu. Tapi dia harus segera memutuskan sebuah sikap sebelum May dan Kia mengatakan pada ibu penjaganya.

" Tunguuu! " Ike berlari mengejar May dan Kia, "Baiklah aku mau cerita. Tapi kalian harus membantuku "

" Kembalikan dulu kunci itu "

Ike menyerahkan kunci itu kepada May, " Tanpa kunci ini apakah kalian bisa membantuku? "

" Ceritakan dulu, nanti kami akan mencari cara untuk membantumu. Ayo kita duduk dibawah pohon itu "

Mereka berjalan menuju sebuah pohon yang berada tidak jauh dari tempat mereka semula. Pohon itu rindang dan teduh, kemudian mereka duduk di permadani rumput hijau nan empuk yang terhampar disana.

" Baik sekarang ceritakan, kenapa kau tadi melongok-longok ke bumi. Siapa yang kau cari? "

" Aku mencari ibuku. Aku ingin melihat seperti apa ibuku. Aku belum pernah melihatnya. Aku meninggal sebelum dilahirkan ibu. Sudah lama aku mencari cara bagaimana supaya bisa menengok ke bumi. Kebetulan tadi aku melihat kunci itu terjatuh di halaman, jadi kuambil saja dan kugunakan untuk membuka pintu disudut beranda sana "

" Mengapa tidak kau katakan sedari tadi? Itu hal mudah. Kami akan membantumu "

" Bagaimana caranya? Dengan menggunakan kunci itu bukan? "

" Tidak dengan kunci ini, karena pintu itu hanya ibu penjaga yang boleh membukanya. Di beranda bagian belakang ada jendela kaca panjang, dan kita boleh melihat dunia dari sana. Ayo aku tunjukkan " May beranjak diikuti Kia dan Ike.

" Sebaiknya aku kembalikan dulu kunci itu, May. Siapa tahu ibu penjaga sedang mencari saat ini " kata Kia. May setuju dan menyerahkan kunci kepada Kia. Kemudian Kia segera meninggalkan mereka untuk menyerahkan kunci kepada ibu penjaga.

Kunci yang dibawa Kia adalah sebuah kunci khusus yang hanya dimiliki para ibu penjaga. Setiap ada anak yang akan masuk surga, ibu penjaga akan menjemput melalui pintu itu. Pintu itu tidak begitu besar hanya pas dilewati oleh para ibu penjaga dan seorang anak yang digendongnya.

May menuju beranda belakang. Benar, disana ada jendela kaca panjang. Jendela itu memang difungsikan apabila ada anak-anak yang ingin sekedar melihat keluar. Ada tangga berundak yang membantu anak-anak supaya lebih mudah mencapai jendela itu.

" Lihat, itu disana dunia. Nah, yang mana ibumu? "
Ike melakukan apa yang dilakukan May. Melalui jendela itu dia bisa melihat dunia, dimana ibunya tinggal.

" Kata ibu penjaga ibuku bernama Nina " Ike mulai menceritakan bahwa ibu penjaga yang mengatakan siapa nama ibunya dan dimana dia tinggal bersama keluarganya yang lain.

May dan Ike mulai mencari alamat yang dikatakan ibu penjaga. Tak butuh waktu lama akhirnya mereka menemukan rumah keluarga Ike.

" Bagaimana, apakah kalian sudah menemukan ibunya Ike? " tanya Kia yang sudah kembali dan bergabung dengan mereka.

" Sudah, baru saja. Lihat Ke, itu ibumu dan adikmu. Mereka sedang bermain di halaman rumah. Ibumu sedang menyuapi adikmu " May menunjuk ke suatu rumah.

" Ah, iya. Itu ibu dan adik. Senang sekali bisa melihat mereka " Ike tersenyum sambil meraba jendela kaca seolah dia sedang menyentuh ibu dan adiknya, " Aku rindu sekali pada ibu ".

" Lihat ada yang mendatangi ibumu, Ke. Mungkin itu tetanggamu " kata Kia begitu dilihatnya seseorang datang mendekati ibu Ike.

" Assalamu'alaikum. Bu, sudah terima undangan pengajian nanti sore? Tadi saya WA kok njenengan nggak jawab ya? " tanya seorang wanita yang baru datang itu. Benar wanita itu adalah tetangga satu gang ibu Ike.

" Maaf bu, saya sepertinya nggak bisa datang nanti sore, ada keperluan lain. Oo tadi njenengan WA saya? Saya nggak tahu tuh. Tapi lain kali kalau WA lagi dan nggak saya jawab artinya saya nggak ikutan, ya bu "

" Iya nggak apa, bu. Kalau begitu saya permisi dulu ya. Wassalamu'alaikum "

Kemudian wanita itu berlalu. May, Kia dan Ike mendengar dengan jelas percakapan mereka. Ike tampak menunduk sedih. Dia kecewa karena ibunya menolak ajakan pengajian. Dia juga pernah mendengar dari ibu penjaga bahwa ibunya dalam menjalankan sholat lima waktu belum tertib benar. Bahkan kadang ada yang terlewat. Semula dia tidak percaya apa yang dikatakan ibu penjaga, tapi sekarang setelah dia melihat sendiri, betapa sedih hatinya.

" Apa kalian juga pernah melihat ibu kalian? " tanya Ike pada May dan Kia, " Apa yang sedang ibu kalian lakukan? "

" Aku sering melihat ibu dan keluargaku dari jendela ini. Ibu lebih banyak berdzikir diatas kursi rodanya. Ibu juga selalau berangkat pengajian meskipun kakakku harus mendorong kursi roda ibu sampai di masjid " kata May.

" Ibu setiap hari sholat tahajud disepertiga malamnya, dia selalu berdoa sampai menjelang subuh. Dia juga sering menangis bila mengingatku "  cerita Kia.

" Kalian pasti sangat bahagia mempunyai ibu seperti itu. Suatu hari nanti kalian pasti akan bertemu dengan ibu kalian di pintu gerbang besar disana. Kalian akan menyambut mereka dengan bahagia. Aku juga ingin menjemput ibu di pintu gerbang besar itu bila saatnya tiba, tapi kalau ibuku seperti itu apakah masih bisa? Aku sangat ingin bertemu ibu, aku belum pernah dipeluk ibu. Aku ingin dipangku dan dicium. Aku ingin dinyanyikan lagu-lagu " Ike menangis.

May dan Kia menyentuh pundak Ike berusaha menenangkan.

" Kalian harus membantuku. Kita harus melakukan sesuatu supaya aku bisa menjemput ibu di pintu gerbang. Aku tidak mau sendirian tanpa ibu, sementara kalian akan bertemu dengan ibu kalian dan hidup bahagia disini selamanya "

" Baiklah, kita akan membantumu, Ke. Kita akan memikirkan suatu cara supaya ibumu bisa datang ke pintu gerbang besar itu nantinya " kata May yakin, meskipun dia belum tahu hal apa yang akan dilakukan.

" Terima kasih, kalian baik sekali. Jadi, apa yang akan kita lakukan? "

" Entahlah, aku juga belum tahu. Kau ada ide Kia? "
" Belum ada. Ehhmmm, bagaimana kalau kita minta tolong pada burung. Maksudku burung itu akan menyampaikan pesan Ike kepada ibunya. Mungkin berupa semacam surat? "

" Maksudmu Ike mengirim surat kepada ibunya melalui seekor burung? Seperti merpati pos begitu? Kemudian ibunya akan menerima surat itu dengan gembira dan mengatakan kepada orang-orang : lihat, aku mendapat surat dari seekor burung. Ini surat dari anakku yang telah meninggal dunia tujuh tahun yang lalu. Begitu maksudmu?? "

" Kenapa tidak? Mungkin saja kan? "

" Tidak mungkin!!! " jawab May dan Ike bersamaan.

" Baiklah kita cari ide lain saja "

Mereka tampak berfikir keras dan berusaha mendapatkan ide yang bisa digunakan untuk menolong ibu Ike. Supaya ibu Ike rajin beribadah kepada Allah supaya kelak bisa berkumpul bersama.

" Aku dapat ide " kata Ike tiba-tiba, " Ini ide yang bagus "
" Apa idemu Ke, cepat katakan " kata Kia mendekati Ike
" Iya, ayo katakan. Semoga itu ide yang bagus " May ikut senang.

" Aku akan memanggil ibu dari jendela kaca itu. Aku akan berteriak keras-keras supaya ibu mendengar suaraku. Meskipun ibu belum pernah mendengar suaraku tapi pasti ibu tahu bahwa itu aku. Ayo teman-teman, temani aku "

Mereka kembali berada di depan jendela kaca. Tetapi jendela itu tertutup rapat, hampir tidak ada celah sama sekali. Suara Ike akan tertahan dan tidak bisa keluar.

" Kaca ini tertutup rapat, suaraku tidak mungkin sampai ke bumi " kata Ike sambil memperhatikan jendela kaca itu.

" Lihat, diatas ada kisi-kisi " kata May sambil menunjuk keatas.  Benar, diatas sepanjang jendela kaca itu ada kisi-kisi. Mereka harus memanjat untuk bisa mencapai kisi-kisi itu.

" Ayo kita ambil bangku di beranda depan. Ike harus naik bangku kalau ingin mencapai kisi-kisi itu "

Mereka bertiga segera berlari menuju beranda depan dan berusaha memindahkan sebuah bangku yang berada disana. Bangku itu panjang dan berat, mereka harus mengeluarkan seluruh tenaga supaya bangku itu bisa terangkat.

Akhirnya Ike berhasil mencapai kisi-kisi. Dia mendongakkan wajah hingga mulutnya berada di depan kisi-kisi. Kemudia dia mulai berteriak.

" Ibuuuu! Ayo berangkat pengajian dan sholat yang tertib, buu. Supaya aku bisa menjemput ibu dipintu gerbang nantiiii!! "

" Bagus, Ke. Sekarang lihat apakah ibumu mendengar " Kia melihat kebawah melalui jendela kaca. May dan Ike melakukan hal yang sama.

Beberapa saat kemudian tidak terjadi apa-apa. Ibu Ike tetap beraktifitas seperti biasa, seolah tidak ada yang didengarnya. Ike tampak kecewa.

" Coba sekali lagi, Ke. Mungkin tadi ibumu tidak mendengar. Yang lebih keras ya " May menyemangati Ike.
Ike naik bangku lagi dan mendongakkan wajahnya kearah kisi-kisi. Dia berteriak kembali mengucapkan kata-kata seperti tadi, hanya kali ini suaranya lebih lantang.

Tetapi ibu Ike tetap tidak mendengar. Ike terduduk lesu dibangku. Dia kelihatan sedih sekali.

" Jangan sedih, Ke. Kami akan membantumu. Kami akan membantu berteriak kepada ibumu. Pasti suara kita bertiga akan terdengar jelas " Kia mencoba membangkitkan semangat Ike.

" Aku setuju. Ayo kita ulangi bersamaan dan dengan suara yang sangat keras " kata May

Mereka bertigapun bersiap-siap. Berdiri berdampingan diatas bangku dengan wajah mendongak dan mulut didekatkan kisi-kisi. May memberi aba-aba : satu, dua, tiga! Merekapun berteriak bersama-sama :


" Ibuuuu! Ayo berangkat pengajian dan sholat yang tertib, buu. Supaya aku bisa menjemput ibu dipintu gerbang nantiiii!! " teriak Ike.

" Tantee! Ayo berangkat pengajian dan sholat yang tertib, tan. Supaya Ike bisa menjemput tante dipintu gerbang nantiiii!! " teriak May dan Kia.

Kemudian mereka saling berpandangan sambil berkerut kening.
" Suara kita tidak kompak, saling bertindihan. Tidak bisa didengar " kata Ike
" Iya, kau mengatakan ibu, sedang kami mengatakan tante. Dan ketika kau sudah selesai mengucapkan kami masih tertinggal "
" Kalaupun ada yang mendengar pasti bingung, sebenarnya apa yang kita katakan "

" Sebenarnya suara kita sudah sangat lantang, hanya saja kalimatnya jadi kacau "
" Jadi apa yang harus kita katakan supaya kompak dan jelas? "
" Sebaiknya jangan terlalu panjang, kita pangkas kalimatnya sependek mungkin. Tapi apa ya? " Kia termangu-mangu.

" Bagaimana kalau kita panggil ibu saja, sedangkan kalimat lainnya kita ucapkan dalam hati dengan bersungguh-sungguh. Aku yakin ibumu akan mendengar, Ke " usul May.
" Ya, dan kita bertiga harus satu suara yaitu : ibu. Kau dan akupun harus mengucapkan ibu, May. Jangan tante, nanti jadi kacau lagi " kata Kia.
" Baiklah itu usul yang bagus. Ayo kita lakukan lagi " Ike berdiri diikuti May dan Kia. Mereka segera menaiki bangku lagi dan bersiap berteriak keluar.

" Suara kita harus benar-benar lantang dan panjang, ya. Ini adalah teriakan kita yang paling keras yang pernah kita lakukan. Kalian sudah siap? Satu, dua, tiga "

" Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!! "

****

Tiba-tiba ada angin lembut yang hangat menerpa wajah Sumarni. Matanya terbuka dan sejenak dzikirnya terhenti. Dia menoleh kesekeliling mencoba menemukan sesuatu yang entah apa. Dia merasa ada yang hadir disana, entah siapa atau apa. Tak sengaja matanya menatap sebuah foto yang sudah sekian lama terpajang di dinding. Dia mengayuh kursi rodanya mendekati dinding itu. Ditatapnya lagi foto itu. Foto anak perempuannya yang saat itu masih berumur tiga tahun. Dalam foto itu May dalam pangkuannya sedang tertawa ceria menatap kamera yang dipegang suaminya. 

Tak terasa Sumarni meneteskan air mata yang kemudian dia hapus cepat-cepat. Bukankah dia sudah merelakan gadis kecilnya itu berangkat ke surga lebih dulu, sejak empat tahun yang lalu? Ketika sebuah kecelakaan harus memisahkan mereka. Ketika mereka menjadi korban tabrak lari disuatu sore. May meninggal dan dia harus kehilangan kaki kirinya sebatas lutut.

Entah mengapa, tiba-tiba saja dia teringat pada May. Bukankah setiap hari dia sudah terbiasa menatap foto itu dengan perasaan bahagia, karena yakin bahwa May saat ini sudah berada di surga. Tetapi mengapa kali ini dia merasa ada yang lain seolah merasakan kehadiran May disisinya. Mengapa? Sumarni kembali mengatupkan mata dan melanjutkan dzikirnya.

****

Sinta menghentikan kegiatan menjahitnya dengan tiba-tiba. Dia seperti mendengar sesuatu yang sangat dekat ditelinganya.

" Rin, kau memanggil ibu? " tanyanya kepada Rina anak perempuannya.
Tidak ada jawaban. Sinta bangkit dan berjalan keluar rumah. Dihalaman dilihatnya Rina sedang bermain bersama anak tetangga.
" Rin "
" Ya bu " Rina mendekati ibunya, " Ada apa bu? "
" Kau tadi memanggil ibu? Barusan ini? "
" Tidak, aku berada diluar sejak beberapa menit yang lalu. Ada apa, bu? "
" Tidak apa-apa " Rina terdiam sejenak sambil mengingat-ingat, sepertinya tadi ada yang memanggilnya. Ah sudahlah, mungkin itu hanya halusinasi saja. Rina segera menepis pikirannya, dia bermaksud untuk melanjutkan pekerjaannya ketika dilihatnya Eli, anak tetangganya tertawa-tawa karena digoda Rina. 

Sinta melihat Eli sambil tersenyum. Tiba-tiba dia teringat pada anak perempuannya yang lain, Kia. Seandainya masih hidup, Kia pasti sudah seumuran Eli sekarang. Sayang penyakit Demam Berdarah telah merenggut jiwanya ketika usia Kia belum genap satu tahun. Meskipun peristiwa itu telah lama berlalu dan sudah dia ikhlaskan jauh-jauh hari, tak urung Sinta sempat mengusap butiran air mata yang menggenang. Mengapa tiba-tiba aku mengingatnya dengan begitu jelas ya, kata hatinya heran.

****

" Maaf, Nin. Aku harus mengatakan ini sekarang. Bayi kita telah meninggal, dan kau harus melahirkannya saat ini juga. Ketika kau terpeleset di kamar mandi tadi benturan diperutmu sangat keras. Bayi kita tidak terselamatkan " Hadi menyampaikan berita itu dengan menggenggam erat tangan Nina, sambil berurai air mata.

" Tidak, mas! Aku tidak mau kehilangan anakku! Aku tidak mauuu!!! "

****

" Nina, Nina, bangun! Kenapa kau? Kau mimpi?! " Hadi mengguncang tubuh Nina yang sedang tidur sambil berteriak-teriak.

Nina terbangun. Keringat dingin membasahi wajah dan lehernya. Dilihatnya suaminya sedang menenangkannya.

" Kau mimpi apa, Nin? "
" Anakku, mana anakku? "
" Ssttt, Dion sedang tidur. Dia baik-baik saja. Kau memimpikan Dion? "

" Tidak, bukan Dion mas. Ike! Anak perempuan kita "
" Astaghfirullah, istighfar Nin. Ike sudah meninggal hampir tujuh tahun yang lalu, dia meninggal dalam kandunganmu. Kau ingat? "

Nina menatap suaminya dengan tajam, sementara Hadi memegang wajah Nina dengan kedua tangannya. Didekatkannya wajah itu pada wajahnya.
" Nina, dengar. Kau bermimpi tentang Ike anak kita? Sudahlah, itu sudah lama terjadi dan kita sudah mengikhlaskannya bukan? Bukankah selama ini kau tidak pernah bermimpi tentang Ike? "

" Aku tidak tahu, mas. Aku bermimpi saat kau memberitahuku bahwa anak kita telah meninggal dalam kandungan saat aku terjatuh di kamar mandi. Kemudian aku menangis dan berteriak. Saat itulah kau membangunkanku "

" Sudahlah, mungkin kau terlalu lelah " Hadi memeluk istrinya. Nina menangis.

Hadi mengusap punggung Nina untuk menenangkannya. Dia heran karena baru kali ini istrinya mengalami kejadian seperti ini setelah peristiwa menyedihkan itu bertahun-tahun lalu. Mengapa hari ini disaat tidur siang Nina bermimpi tentang peristiwa yang mungkin sebenarnya sudah mereka lupakan?

" Aku merindukan Ike, mas. Aku jadi mengingatnya kembali. Aku bahkan sudah memberinya nama sejak dalam kandungan. Dan peristiwa itu terjadi karena kesalahanku kan, mas? Karena aku tidak berhati-hati kan? "
" Sudahlah Nin, tenangkan dirimu. Istighfar, ayo istighfar supaya kau tenang. Astaghfirullah hal adzim, astaghfirullah hal adzim. Ucapkan itu "

" Aku malu, mas. Aku hampir tidak pernah mengucapkan istighfar selama ini "
" Sekarang ucapkan supaya Allah mengampunimu "
" Astaghfirullah hal adzim. Ampuni aku ya Allah "

Sampai beberapa saat kemudian Nina masih menangis dipelukan suaminya. Tiba-tiba dia terhenyak seperti teringat sesuatu. " Mas, sekarang jam berapa? "
" Hampir setengah empat, ada apa? "
" Tadi siang bu Herman mendatangiku untuk mengajak pengajian di masjid jam empat ini. Tadi aku sudah beralasan untuk tidak datang, tapi sekarang aku berubah pikiran, mas. Aku akan mengikuti pengajian itu "
" Baguslah, Nin. Sekarang mandilah dulu kemudian langsung sholat asar ya " Hadi melepas pelukannya, " Setelah itu baru berangkat pengajian. Kau masih punya waktu tiga puluh menit "

Nina menghapus sisa-sisa air matanya, " Mas, saat ini Ike sudah di surga, kan? Dia sudah bahagia di surga, kan? "
" Ya, tentu saja. Ike sudah berada di surga "
" Aku akan beribadah dengan benar dan tekun mulai saat ini, supaya disana Ike bisa melihatku dengan bangga. Pasti dia akan senang mempunyai ibu yang taat beribadah kan, mas? "
" Ya, pasti "

****

" Lihat, ibumu mendengar, Ke. Kita berhasil " May bersorak kegirangan.
" Horeee, kita berhasil " Kia juga bersorak gembira.
" Ibu kalian juga. Lihat, mereka merasakan panggilan kalian. Tapi, bukankah maksud kalian tadi adalah memanggil ibuku? Mengapa ibu kalian merasakan juga? "
" Entahlah, mungkin saat aku memanggil ibumu, aku terbayang ibuku juga " jawab Kia.
" Iya, tadi aku juga sempat membayangkan ibuku. Dan ternyata ibu kita sama-sama merasakan panggilan itu ya "

" Alhamdulillah, aku senang sekali. Akhirnya ibuku sadar dan akan memperbaiki ibadahnya. Terima kasih ya Allah. Aku yakin pasti bila saatnya tiba, ibuku akan datang ke pintu gerbang. Dan aku akan menjemputnya "

" Ya. Bagaimana kalau kita menjemput ibu bersama-sama? Nanti kita saling mengenalkan ibu kita masing-masing "
" Setuju. Kemudian aku minta ibu memelukku dan menyanyikan lagu-lagu "
" Aku ingin ibu membacakan dongeng untukku. Aku belum pernah dibacakan dongeng dulu " kata Kia
" Kalau aku, aku ingin ibu menyuapiku kemudian bermain ayunan di taman " sambung May

" Hahaha, pasti seru sekali ya. Aku tidak sabar menunggu waktu itu tiba "
" Aku juga tidak sabar, aku ingin segera bertemu ibu "

" Hey, ayo kita masuk, hari sudah hampir senja "
Kemudian mereka bertiga berjalan beriringan dengan hati gembira, meninggalkan beranda.


Gambar : sumber Google


****

Cerita ini hanya fiktif dan imajinasi penulis saja :)











Komentar

  1. Hmm sungguh menenangkan nih mbak, ahi hi hi.

    BalasHapus
  2. Wah panjang sekali mbak artikelnya saya membacanya belum semuanya mbak, tapi walaupun tidak tamat cukup asik mbak membaca arikel mbak ini :D

    BalasHapus
  3. Kisah yang indah, Mbak. Saya larut dalam kisahnya. :)

    BalasHapus
  4. saran, dijadiin beberapa part saja jika ini cerpen yang diblogkan. Karena kadang terasa panjang jika ditulis hingga tuntas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. jadi ada ras amenunggu cerita selanjutnya ya mbak :) suka sama ceritanya

      Hapus
  5. Kok pada pinter bikin cerita gini sih :)

    BalasHapus
  6. Banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah ini, Makjleb banget di hati

    BalasHapus
  7. intinya kita tidak boleh menggunakan barang yang kita temukan karena itu bukan hak kita ya ?

    BalasHapus
  8. Imaginasi mbak anjar tinggi bnget mb. Hebat! Bagus alur ceritanya. Jarang nemu cerita anak yang secerdas ini.. Ayuk, kirimin media biar penikmatnya lbh bnyk mbak..

    BalasHapus
  9. setuju sama Bunda Raka-Alya, ayo Mba Anjar coba kirimin ke media biar lebih banyak pembacanya :)

    BalasHapus
  10. Ini tulisan fiktif aja ._. kok bisa sepanjang ini ya mbak .-. aku mentok pasti nggantung kalau nggak ya nggak kelar ._. duuuh, harus belajar sama kamu nih aku mbak :)

    BalasHapus
  11. Keren Mbak tulisan fiksinya. Imaginasi nya tinggi sekali. Hebat deh. Saya sampai terenyuh membacanya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minum Langsung Dari Gelasnya

Kinayah : Pertengkaran dua bocah

Kinayah : keriting di salon!