Kinayah : Kartinian

Semarang, awal tahun 80an




Bu Lis masuk kelas, seketika murid-murid yang sedari tadi berisik dan gaduh langsung terdiam. Meskipun terdiam bukan secara serentak melainkan satu persatu diam setelah melihat kehadiran bu Lis. Kinay yang semula duduk menghadap meja Icha yang berada dibelakangnya, seketika merapikan duduknya dan kembali menghadap depan setelah Icha memberi kode kalau bu Lis sudah masuk kelas.

" Dengarkan anak-anak, ada pengumuman " kata bu Lis di depan kelas. Seperti biasa bu Lis selalu berwibawa. Sosoknya yang ayu dan ramah murah senyum sangat disukai murid-muridnya. Badannya agak gemuk dan wajahnya bercahaya.

" Ya bu "
" Pengumuman apa bu "
" Mau rapat ya bu, kita boleh pulang awal? "

Para murid menjawab bersahut-sahutan. Dan suasanapun kembali ramai, seperti ketika bu Lis belum masuk tadi.

Bu Lis diam saja. Mematung ditempat dengan seulas senyum dibibirnya. Dilihatnya murid-muridnya satu-persatu. Banyak yang ramai tetapi tidak sedikit pula yang masih memandangnya menanti perkataan berikutnya.

Lama-kelamaan murid-murid kembali diam. Kembali terduduk rapi dan menghadap ke depan, bu Lis masih tersenyum sambil menunggu suasana kelas tenang. Beberapa menit kemudian kelas sudah benar-benar tenang. Bu Lis melanjutkan perkataannya.

" Satu minggu lagi kita akan memperingati Hari Kartini. Nah pada tanggal 21 April nanti anak-anak perempuan kelas lima dan enam diwajibkan memakai kebaya atau pakaian tradisional Indonesia.. "

" Asyik kita memakai kebaya "
" Ah nggak mau aku, itu pasti ribet sekali "
" Pakai sanggul juga nggak bu? "
" Pakai sanggul dan cunduk mentul "
" Aku mau memakai pakaian Bali "
" Pakai gincu juga bu? "
" Pakai jarik bu? Wah nanti jalannya timik-timik dong "
" Hahaha "

****

" Bu, kata bu Lis nanti tanggal 21 April aku harus memakai kebaya dan sanggul juga " kata Kinay begitu sampai di rumah.
"  Waduh, terus mau pakai kebaya siapa ya Nay? " 
" Punya ibu dong, masak ibu nggak punya kebaya? "
" Coba nanti kita cari ya "

" Terus sanggulnya gimana bu? "
" Nanti ibu tanyakan bulik Ima, mungkin bulik Ima punya " jawab ibu sambil mengaduk sayur sop di panci.
" Oiya, bulek pasti punya, bu. Kemarin kan bulek baru saja kursus merias pengantin. Nanti yang mendandani aku bulek juga ya bu? "
" Iya pasti "

Bulek Ima adalah ibunya Icha sekaligus adik tiri ibu. Jadi Kinay dan Icha adalah saudara sepupu. Rumah bulek Ima tidak jauh dari tempat tinggal Kinay, hanya puluhan meter kearah belakang. Tetapi rumah bulek Ima bukan rumah sewa melainkan rumah pribadi, rumah milik sendiri. Suami bulek Ima atau ayah Icha bekerja sebagai pegawai negeri.

Bulek Ima sangat berbakat dalam segala hal. Dia bisa membuat aneka kue dan masakan, sehingga sering mendapat pesanan dari para tetangga. Bisa juga menjahit macam-macam baju sehingga banyak pula yang minta tolong dijahitkan. Selain itu bulek Ima juga menjual es lilin dan es batu yang kemudian dititipkan ke warung-warung untuk dijual. Bulek Ima mempunyai dua almari es, satu yang kecil untuk menyimpan makanan dan satu lagi lebih besar khusus untuk membuat es lilin dan es batu.

Beberapa waktu yang lalu bulek Ima juga mengikuti kursus merias mengantin, dan sudah mengikuti lomba merias pengantin juga. Meskipun tidak juara tetapi pasti kepandaiannya itu akan bermanfaat. Terutama saat ini, saat Kinay dan Icha akan memakai baju kebaya pada acara Kartinian minggu depan.

****

Ibu sudah berbicara dengan bulek Ima mengenai rencana Kartinian itu. Bulek Ima bersedia mendandani Kinay dan meminjamkan sanggul, jarik dan kendit. Tetapi untuk kebaya ukurannya besar semua sehingga kalau dipakai Kinay pasti kegedean. Untuk sandalnya bulek Ima juga punya sandal selop yang bisa dipinjam Kinay.

Akhirnya Kinay dan ibu membongkar almari untuk mencari kebaya ibu jaman dulu. Setelah diubek-ubek seisi almari syukurlah akhirnya ketemu juga kebaya itu. Kebaya berwarna coklat dan berbahan broklat. Ukurannya pas dengan Kinay, tidak kebesaran. Ternyata ibu dulu kecil juga ya.

Tetapi sebenarnya Kinay tidak menyukai kebaya itu. Baik warna dan bahannya. Kinay lebih suka warna biru polos, atau bermotif bunga tetapi tertutup rapat. Tidak berwarna coklat dan menerawang seperti kebaya ibu. Namun apalah daya, hanya itu kebaya yang ada. Kinaypun mau tak mau harus memakainya.

****

21 April 1984. Pagi hari selepas subuh, Kinay sudah bersiap-siap untuk dirias oleh bulek Ima. Bulek merias Icha terlebih dahulu, sementara Kinay menunggu di kursi tamu. Kurang lebih satu jam kemudian Icha telah selesai dirias. Dia memakai kebaya merah yang indah. Rambutnya disanggul. Wajahnya cantik, alis ditebalkan, bibir diberi gincu merah, pipi diberi perona merah muda.

Sekarang tiba giliran Kinay. Dia senang sekali karena akan dirias seperti Icha. Pertama rambutnya disasak, yaitu disisir sedemikian rupa supaya rambutnya tampak tebal dan bisa ditata diatas keningnya. Kemudian dipasang sanggul dibelakang kepala. Proses ini lumayan menyakitkan. Rambut Kinay sering ditarik-tarik oleh bulek supaya rapi, kemudian banyak dipasang jepit lidi untuk menguatkan sanggulnya. Kinay hanya bisa meringis ketika merasakan sakit dikepala. Ada lagi alat yang seperti kaleng obat nyamuk semprot yang digunakan untuk menyemprot keseluruhan rambut Kinay. Kata bulek, itu namanya Hair Spray. Gunanya untuk merapikan rambut supaya tidak awut-awutan meskipun terkena angin. Setelah memakai itu rambut kinay jadi kaku.

Tibalah saatnya merias wajah. Wajah Kinay ditaburi bedak, bibirnya diberi gincu merah, ditambahkan perona pipi berwarna merah muda dan tidak lupa alisnya dipertebal dengan pensil alis. Setelah itu baru memakai kebaya. Pertama Kinay dipakaikan kain jarik yang ditata sedemikian rupa kemudian sebuah kendit dililitkan keperutnya supaya jariknya tidak terlepas. Dan terakhir memakai kebaya. Selesai.

Kinay mulai berkaca. Dan tersenyum melihat perubahan pada wajahnya. Satu-satunya yang tidak dia suka adalah kening lebarnya jadi terbuka. Tadinya dia mengusulkan pada bulek supaya diponi saja, tapi kata bulik kalau memakai sanggul memang harus begitu. Ya sudah.

" Aku sudah seperti Ibu Kartini, ya bu? " tanya Kinay kepada Ibu yang sedari tadi menunggu disitu.
" Iya, sudah seperti Ibu Kartini "
Kinay tersenyum puas.

Satu hal yang aneh, mungkin disebabkan oleh gincu, mulut Kinay jadi susah mengatup rapat bawaannya menganga sedikit. Dia merasa asing dengan gincu yang menempel dibibir, dikiranya itu lem. Kalau bibir dirapatkan takutnya akan merekat dan susah dibuka. Akibat lainnya kalau bicara jadi aneh juga, Kinay takut mengeluarkan kata-kata dengan lafal bibir terkatup. Sehingga bicaranya nggak jelas karena dihampir semua kalimat mulutnya selalu terbuka.

Sekarang tiba waktunya berangkat ke sekolah. Masalah lain yang timbul adalah Kinay dan Icha tidak bisa melangkah dengan leluasa. Mereka harus berjalan pelan dan melangkah pendek-pendek. Kebaya ini membuat mereka tidak bisa berjalan seperti biasanya.

Mereka pergi ke sekolah dengan diantar ayah Icha mengendarai vespa, dibonceng satu persatu. Untung sekolah mereka tidak terlalu jauh dari rumah sehingga ayah Icha tidak butuh waktu lama untuk mengantar mereka berdua. Icha berangkat duluan baru Kinay menyusul belakangan.

Di sekolah, bisa dibayangkan bagaimana suasananya. Sangat heboh dan semarak. Murid-murid perempuan terutama kelas lima dan enam memakai pakaian tradisonal. Kebanyakan sih seperti yang dipakai Kinay dan Icha, yaitu berkebaya lengkap dengan sanggulnya. Tetapi ada juga yang memakai pakaian tradisional Bali seperti yang dipakai Cindy teman satu kelas Kinay dan Icha. Mama Cindy menyewa pakaian itu dari salon, sekalian merias Cindy di salon yang sama. Teman-teman sangat mengagumi pakaian Cindy karena sangat indah dan hanya dia satu-satunya yang berbeda.

Tidak lama kemudian murid-murid dikumpulkan di lapangan untuk mengikuti upacara peringatan Hari Kartini. Menariknya para petugas upacara seperti pengibar bendera dan petugas lain dilakukan oleh para murid perempuan kelas enam. Mereka berkebaya semua. Tentu saja jalannya upacar agak lambat karena semua dilakukan dengan langkah-langkah kecil. Lucu sekali. Murid-murid sesekali tertawa melihat para petugas yang tampak kesulitan melangkah.

Upacara ditutup dengan sambutan kepala sekolah. Sambutan ini intinya menceritakan tentang perjuangan ibu Kartini untuk mendapatkan harkat dan martabat kaum wanita Indonesia supaya sejajar dengan kaum pria. Istilahnya emansipasi. Jasa-jasa ibu Kartini sangat besar bagi para wanita Indonesia. Maka kita harus memperingati hari Kartini supaya selalu mengingat perjuangan beliau yang sangat luar biasa.

Ditengah-tengah sambutan bapak Kepala Sekolah juga bertanya seputar kehidupan RA. Kartini yang dengan serempak dijawab oleh murid-murid dengan benar. Misalnya RA. Kartini lahir dimana dan kapan. Berasal dari mana. Siapa nama ayahnya. Siapa nama dua saudara perempuannya. Apa judul bukunya yang sangat terkenal itu, dan lain-lain.

Ketika upacara telah selesai murid-murid perempuan terutama yang memakai kebaya mulai kegerahan. Dan haus juga. Kantin sekolah yang sempit itu penuh sesak oleh murid-murid yang ingin membeli minuman. Suasana mulai hingar bingar.

Kinay, Icha, dan dua teman satu kelas mereka yaitu Iin dan Monik ikutan berdesakan juga di kantin.
" Cha, aku beliin sekalian ya. Aku nggak bisa maju nih " kata Kinay kepada Icha yang sudah bisa maju mendekati bu Ismi yang berjualan di kantin sekolah.

" Aku juga Cha, beliian es " kata Iin yang berada dibelakang Kinay, " Monik juga, dia sangat kehausan "
Monik tampak ikut mengantri dibelakang Iin, wajahnya pucat dan kuyu. Dia sangat kelelahan rupanya.

" Aku nggak bisa bawa nih. Nay, kamu maju lagi. Aduh, siapa yang nyundul sanggulku sih? " Icha mencoba menoleh kearah Kinay dan berusaha memberikan dua buah es yang sudah ada ditangannya.

Kinay berusaha merangsek maju mendekati Icha. Hampir saja dia terjatuh karena melangkah terlalu lebar sementara kain jarik membatasi langkahnya. Akhirnya Kinay dan Icha berhasil keluar dari kerumunan itu dan dengan langkah pendek dan cepat segera mendekali tempat duduk disepanjang lorong sekolah. Iin dan Monik mengikuti. 

Sambil duduk mereka segera meminum es masing-masing. Wajah mereka dibasahi keringat yang menetes dari kening. Bedak dan perona pipi merekapun perlahan luntur oleh keringat.

" Wah panas sekali, setelah ini pulang yuk " kata Iin sambil mengipas-kipas wajah menggunakan telapak tangan.

" Iya, sudah selesai kan acaranya? Aku kebelet pipis nih " kata Monik.
" Aku juga " Kinay dan Icha berkata hampir bersamaan, " Ke kamar mandi yuk "
" Kamar mandi penuh dari tadi. Lagipula bagaimana kita mau pipis? Ribet. Masak mau buka jarik dulu? "
" Iya nih, aku menahan pipis sedari pagi. Ayuk kita pulang saja. Lagipula sudah capek aku " Iin berdiri.

" Tanya dulu, boleh pulang nggak? "
" Bolehlah, memangnya mau ngapain lagi. Tadi ada pengumuman nggak sih?"
" Nggak tahu. Aku nggak dengar "
" Aku juga nggak dengar. Kamu nggak dijemput Cha? "
" Enggak. Ayahku masuk kerja "

" Pulang yuk, aku semakin nahan pipis nih " Kinay ikut-ikutan berdiri, " Kita jalannya jauh Cha, kalau nggak pulang-pulang bisa-bisa nanti ngompol di jalan lho "

Tiba-tiba Lisa melintas di depan mereka, " Ayuk pulang teman-teman, acaranya sudah selesai " kata Lisa kepada mereka.

" Kamu pulang bersama ibumu, Lis? Kalau tidak kita barengan jalan berempat " kata Kinay kepada Lisa.
" Tidak, ibuku pulangnya masih nanti. Ayo kita pulang duluan " jawab Lisa. Ibu Lisa adalah salah satu guru di sekolah mereka dan mengajar di kelas tiga.

Merekapun pulang bersama-sama. Monik sampai duluan karena rumahnya paling dekat. Kemudian mereka berempat : Kinay, Icha, Lisa dan Iin berjalan beriringan. Karena hari sudah siang dan matahari bersinar dengan terik, mereka merasa kepanasan sehingga ingin cepat sampai di rumah.

Tetapi langkah mereka terhalang oleh sempitnya pakaian dan beratnya kepala yang menyangga sanggul. Belum lagi sandal mereka berbentuk selop, lain sekali dengan sepatu atau sandal jepit seperti yang biasa mereka pakai. Selop itu kalau dipakai berjalan cepat akan mudah lepas.

" Aduh, gimana nih aku sudah kebelet pipis. Kita lari saja yuk " kata Kinay panik.
" Jangan, Nay. Kalau lari nanti jatuh " Iin melarang.
" Terus bagaimana dong, kita nggak sampai-sampai kalau begini terus "

" Begini saja " Lisa punya usul. Ditariknya kain jarik keatas sampai betis, kemudian selop dia lepas dan ditenteng dengan tangan, " Nah sekarang kita bisa berjalan lebih cepat ".

Kinay, Icha dan Monik segera meniru apa yang dilakukan Lisa. " Dan berlari " Kinay segera berlari mendahului teman-temannya. Tangan kanan dan kiri masing-masing memegang satu selop sambil menarik kain jariknya keatas sampai betis. Kakinya yang telanjang itu berlari cepat menghindari kerikil disepanjang jalan, sanggulnya berayun kekiri dan kekanan.

" Tunggu Nay " teriak Icha, " Aku juga mau lari, aku juga mau pipis " Icha berlari dibelakang Kinay.

Lisa dan Iin tertawa. Mereka tetap berjalan karena rumah mereka lebih dekat. Aksi Kinay dan Icha tentu saja menarik perhatian orang-orang disepanjang jalan yang mereka lewati. Kebanyakan mereka tertawa geli.

" Tunggu Nay, aduh kepalaku sakit, sanggulnya berayun-ayun "
" Ayo kejar aku, Cha. Hahaha "

Kinay, Icha dan teman-temannya yang lain mungkin sangat gembira hari ini, karena mereka berkesempatan memakai kebaya dan bersanggul, seperti Ibu Kartini. Seorang pahlawan Indonesia yang telah berjuang membela emansipasi wanita. Yang selalu diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tanggal 21 April, sama seperti tanggal kehirannya. Satu hal lagi yang Kinay dan teman-temannya tahu yaitu tentang sebaris kalimat yang sangat identik dengan Ibu Kartini : Habis gelap terbitlah terang. 
 Habis bodoh terbitlah kepandaian, habis terjajah terbitlah kemerdekaan.
Kemerdekaan yang berhasil dipejuangkan meskipun harus ditebus dengan banyak pengorbanan. Mengorbankan jiwa dan raganya demi kemajuan wanita Indonesia. Meskipun sangat pedih hidupnya namun demi cita-cita mulia, semua dihadapi dengan berani.

sumber gambar : Google

Hari ini Kinay telah melewati pengalaman yang tak terlupakan. Memakai kebaya meskipun bukan warna kesukaannya. Rambutnya disanggul meskipun kening lebarnya jadi terbuka. Meskipun harus kegerahan dan berdesakan di kantin demi sebungkus es lilin. Tertawa gembira meskipun harus pulang tergesa-gesa karena menahan pipis. Harus mengangkat kain jarik tinggi-tinggi dan menenteng selop sambil berlari. Sepulang memperingati hari Kartini di sekolah. Masa sekolah yang sangat indah. Sebuah masa yang tercipta berkat kegigihan ibu Kartini dalam memperjuangkan cita-cita terbesarnya.

****


Komentar

  1. Selamat Hari Kartini untuk semua wanita di Indonesia...

    BalasHapus
  2. habis gelap terbitlah terang...
    perjuangan ibu Kartini yang telah kita nikmati hingga saat ini, hhhee

    BalasHapus
  3. Cerita yang menarik mbak.
    Iya yah, saking antusiasnya anak2 rela didandanin dengan make up tebal Dan kostum yang ribet sampe pipis aja ribed. Jaman dulu blom ada ROK jarik langsung an sih ya. Hehehe.
    Makasih kunjungannya mbak.

    BalasHapus
  4. Selamat hari kartini mbak anjar sundari ...

    BalasHapus
  5. Semoga dengan adanya hari kartini wanita bisa lebih di hargai lagi dengan keberadaan bahwa wanita juga sangat penting dan dibutuhkan, selamat hari kartini.

    BalasHapus
  6. aku suka ceritanya mbak...selamat hari kartini y mb

    BalasHapus
  7. di sekolah anak saya kartini day malah lomba fashion show baju karakter ><

    BalasHapus
  8. Selamat hari kartini. ^^ Di sekolahnya Asma gak ada kartinian

    BalasHapus
  9. Selamat hari Kartini untuk semua wanita Indonesia

    BalasHapus
  10. Ceritanya menarik mba... Selamat hari Kartini ^^

    BalasHapus
  11. selamat hari kartini untuk semua wanita indonesia, khususnya buat Mba Anjar :)

    ceritanya menarik Mba, jadi teringat saat sekolah dulu disuruh pakai kebaya :)

    BalasHapus
  12. syenangnya pas masi kecil ada acara pake baju adat
    mb dulu pas aku kecil pengen banget didandanin gitu, apa daya sekolah waktu itu ga ngadain hahahaha

    BalasHapus
  13. Mbak....ceritanya baguss. Kinay yang cincing jarittt, aku suka. Dulu aku idem sama nita...pengen sekali-kali pke kebaya..tapi sekolahku nggak ngadain ( dulu sd muhammadiyah). Sekarang di sd anakku ada, tp krn raka cowok...ya biasa aja...blm pke acara heboh2 kayak kinay dan ibunya.

    BalasHapus
  14. Aku sejak dulu nggak pernah ngalamin kartinian pake sanggul dan kebaya Mba.. eheheh.

    BalasHapus
  15. Ya ampun tiba-tiba ingat waktu TK aku pernah nangis gara-gara susah naik becak pas pakai kebaya, hahaha :)

    BalasHapus
  16. Ini cerpen ya mba? Terinspirasikah dari kisah nyata? Hehehe.. Aku mah waktu sd yang sering disuruh pake baju kartini T___T yang lainnya cuma pake baju merah putih biasa,, terus kayak konvoi gitu ya keliling komplek perumahan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minum Langsung Dari Gelasnya

Kinayah : keriting di salon!